
Keadaan Bangsa Arab Sebelum Kelahiran Islam
KEADAAN BANGSA ARAB SEBELUM KELAHIRAN ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tarekh Tasryi’
Dosen Pengampuh Kholid Hidayatullah, M.H.I
Disusun Oleh
1.
DESCA BARI
NURJANAH
2.
LIA MUFDALIFAH
3.
BELLANDRA
JURUSAN SYARIAH
PRODI PENDIDIKAN HUKUM
EKONOMI SYARIAH
PRINGSEWU-LAMPUNG
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji
syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
tidak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam
penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “ Islam Pada Zaman Walisongo ’’
dapat terselesaikan tanpa ada halangan apapun. Penyelesaian makalah ini adalah
sebagai salah satu tugas mata kuliah “ Sejarah Peradaban Islam ”.
Penyusunan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan adanya kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Namun, makalah ini sedikit banyaknya bermanfaat
bagi penyusun khususnya dan mahasiswa/i lainnya.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, dengan hati
terbuka kami menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Pringsewu, 21 September 2015
Kelompok
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR........................................................................................................ ii
DAFTAR
ISI...................................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................................. 3
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................................. 3
A.
B.
BAB
III PENUTUP............................................................................................................ 11
A.
11
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah
masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung demikian lama, sebagian
berpendapat bahwa Islam masuk pada abad
ke-7 M yang datang lansung dari Arab.
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13, dan ada juga yang
berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke 9 M atau 11 M . Perbedaan
pendapat tersebut dari pendekatan historis semuanya benar, hal tersebut didasar
bukti-bukti sejarah serta penelitian para sejarawan yang menggunakan pendekatan
dan metodenya masing-masing.
Berdasarakan beberapa buku dan
keterangan sumber referensi sejarah, bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara
sekitar abad 13 M. Hal tersebut tak lepas dari
peran tokoh serta ulama yang hidup pada saat itu, dan diantara tokoh
yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa
adalah “ Walisongo”. Peran Walisongo dalam proses Islamisasi di tanah Jawa
sangat besar. Tokoh Walisongo yang begitu dekat dikalangan masyarakat muslim
kultural Jawa sangat mereka hormati. Hal
ini karena ajaran-ajaran dan dakwahnya yang unik serta sosoknya yang menjadi
teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa sehingga dengan mudah Islam
menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.
Walisongo
menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa yang terbagi dari
Surabaya-Gresik-Lamongan JawaTimur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat. Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil perjuangan
dan kerja keras Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai, baik
politik maupun kultural, meskipun terdapat konflik itupun sangat kecil sehingga
tidak mengesankan sebagai perang maupun kekerasan ataupun pemaksaan budaya.
Penduduk Jawa menganut dengan suka rela. Walisongo menerapkan metode dakwah
yang lentur atau baik sehingga dapat diterima baik oleh masyarakat jawa.
Kehadiran para Wali ditengah-tengah Pulau Jawa tidak dianggap sebagai ancaman.
Para
Wali ini menyebarkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan budaya dengan
cara akuluturasi seni budaya lokal yang dikemas dengan Islam seperti wayang,
tembang jawa, gamelan , upacara-upacara adat yang digabungkan dengan Islam dan
dengan kepiawaan para Wali menggunakan unsur-unsur lama (Hindu-Buddha) sebagai
media dakwah mereka dan sedikit demi sedikit memasukan nilai-nilai ajaran agama
islam kedalam unsur tersebut atau dapat disebut metode sinkretisme yang berarti
pencampuradukan sebagai unsur aliran atau paham sehingga yang bentuk abstrak
yang berbeda membentuk keserasiaan. Dengan berkembang pesatnya Islam pada masa
Walisongo tersebut maka kita akan mencoba membahasnya dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang masalah,
maka kami memuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Siapakah Walisongo itu?
2. Melalui bidang apa saja walisongo
menyebarkan agama islam?
3. Bagaimana pendekatan unsur-unsur
dakwah Islam Walisongo?
4. Bagaimana eksistensi metode dakwah
Walisongo pada masa kini?
C.
Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Ingin mengetahui siapa walisongo
itu.
2. Ingin mengetahui peran Walisongo di
berbagai bidang dalam menyebarkan Agama Islam.
3. Ingin mengetahui pendekatan
unsur-unsur dakwah Islam Walisongo
4. Ingin mengetahui eksistensi metode
dakwah Walisongo pada masa kini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asla-Usul Walisongo
Kata “wali”
berasal dari bahasa Arab yang artinya pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam
pemakaiannya wali biasanya di artikan sebagai orang yang dekat dengan Allah
SWT. Adapun kata “songo” berasal dari bahasa Jawa yang artinya sembilan. Maka,
Wali Songo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah
dekat dengan Allah SWT dan terus-menerus beribadah kepada-Nya serta memiliki
kemampuan-kemampuan diluar kebiasaan manusia.
Para sembilan Wali itu ialah Maulana Malik
Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu
Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan
Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan
Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat
para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal
abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-
Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak- Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon
di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari
kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan
hingga pemerintahan. Mereka mendapat gelar susuhunan (sunan), yaitu sebagai
penasehat dan pembantu Raja. Para Wali melakukan dakwahnya dengan sangat tekun,
mereka mampu memahami kondisi masyarakat Jawa pada saat itu.
Menurut Soekomono, pakar purbakala dan sejarah
kebudayaan dari UGM, Wali Songo (9 orang waliyullah) adalah penyiar penting
agama agama Islam di Jawa. Mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengajarkan
pokok-pokok ajaran Islam di tanah Jawa..
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo
adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik
(Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis
dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq
(Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana
Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana
Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Wali songo sangat berperan penting dalam
penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa. Cara penyebaran Islam yang
dilakukan oleh para wali songo sangat menarik. Mereka mampu menggunan
metode-metode yang memudahkan ajaran Islam diterima oleh berbagai golongan
maayarakat.
B.
Peran Walisongo dalam berbagai bidang
Dari gambaran singkat
tentang perjalanan hidup dan perjuangan walisongo dalam menyebarkan agama Islam
di daerah Jawa, khususnya dan di wilayah nusantara pada umumnya, maka peran
mereka dapat dibentuk seperti Bidang Pendidikan, Bidang Politik dan yang paling
terkenal adalah Bidang Dakwah. Dan dikalisifisikan menjadi:
1. Bidang Pendidikan
Peran walisongo di bidang pendidikan terlihat
dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan
oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan
pesantren di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus menjadi
pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah, ia
mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke
berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan
Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan
Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan Islam
Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam
islamisasi Pulau Jawa. Sedangkan Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah
Giri. Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia
mengirim juru dakwah terdidik keberbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti
Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Sunan Bonang memusatkan kegiatan
pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren yang didirikan di daerah Tuban.
Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah,
putera raja Majapahit, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak.
Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
2. Bidang Politik
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar.
Di antara mereka menjadi penasehat Raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan
Gunung Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh dikalangan istana Majapahit.
Istrinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit)
adalah murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat
penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan mendapat restu
dari penguasa kerajaan. Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi
restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang harus
diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.
Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.
3. Bidang Dakwah
Sudah jelas sepertinya, peran Walisongo cukup
dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubalig, Walisongo berkeliling
dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Muria
dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencil. Salah satu karya
yang bersejarah dari walisongo adalah mendirikan mesjid Demak. Hampir semua
walisongo terlibat di dalamnya. Adapun sarana yang dipergunakan dalam dakwah
berupa pesantren-pesantren yang dipimpin olehpara Walisongo dan melalui media
kesenian, seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan
tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke
dalamnya. Syair dari lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan
tauhid, sikap menyembah Allah dan tidak menyekutukanya atau menyembah yang
lain.
C. Pendekatan Unsur – Unsur dakwah Walisongo
Struktur dakwah pada masa WaliSongo meliputi
unsur – unsur dakwah sebagai berikut:
1. Da’i
Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada
masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya
lokal). Maulana Malik Ibrahim
sebagai perintis mengambil peranannya di daerah Gresik, setelah beliau wafat
wilayah ini di kuasai oleh Sunan Giri, Sunan Ampel mengambil posisinya di
Surabaya, Sunan Bonang di Tuban, sementara itu Sunan Drajat di Sedayu,
sedangkan di Jawa Tengah ada tiga wali yaitu Sunan Kudus yang mengambil wilayah
di Kudus, Sunan Muria pusat kegiatan dakwahnya terletak di Gunung Muria
(sekitar 18 km sebelah utara Kota Kudus), dan Sunan Kalijaga berdakwah di
Demak, sedangkan di Jawa Barat hanya ada satu orang wali saja yaitu Sunan
Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati menjadi Raja
muda di Cirebon dan Banten di bawah lindungan Demak, dan Sunan Giri bukan hanya
ulama, namun juga pemimpin pemerintahan, jadi beliau bersifat al-ulama wa
al-umara, sedangkan tujuh wali yang lain hanya bersifat al-ulama saja.
2. Mad’u
Kondisi mad’u pada masa wali
ini termsuk mad’u ummah karena pada saat itu mereka masih beragama hindu –
budha, akan tetapi ada juga sebagian yang menerima islam sebagai agamanya, jadi
pada masa wali songo ini termasuk mad’u ijabah dan mad’u ummah
3. Materi
Materi dakwah yang di terapkan
pada dakwah Walisongo ini adalah akidah, syari’ah dan muamalah, dimana para
Wali menanamkan akidah kepada masyarakat setempat,karena menghawatirkan
penyimpangan akidah akibat tradisi masyarakat jawa,serta memperhatikan secara
khusus kepada kesejahteraan social dari fakir miskin,mengorganisir amil,zakat
dan infak, dan juga mengajarkan ilmu – ilmu agama seperti ilmu fikih, ilmu
hadis, serta nahu dan saraf kepada anak didiknya.
4. Metode
Meskipun tidak membawa bendera
tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah
Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan
metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui
keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah,
sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang ditinggalkan
Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam
tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon, yang
menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal ini
juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis
pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo
hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf
cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.
Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda.
Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat
untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin
itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu
masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang
diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul
di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis
dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama
Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah
Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan
(berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara
personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil
diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara
ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada
Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat,
Aria Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang
dipimpinnya. Metode itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah
mengajak Adipati Pandanarang di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru,
tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk
masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan
rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan
Kalijaga.
Beberapa wali bahkan telah
membuktikan diri sebagai Kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan
Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman
mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan
pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan
Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang
berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih
daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka
diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah
masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang
digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
a. Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah
merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan
teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana
yang dilakukan oleh Sunan Gudus.
b. Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik)
: memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih
sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau
membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati
seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia
lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah
yang dilakukan oleh para wali.
c. Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan
(berbantah-bantah dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan
oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan
agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan
bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan
menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran
pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah
Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati
Pandanarang.
Metode-metode tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :“serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).
5. Media
a. Masjid
Dimana masjid ini di gunakan sebagai tempat ibadah dan masjid Demak juga di jadikan sentral seluruh
aktivitas dan social kemasyarakatan.
b. Wayang
Wayang sesungguhnya merupakan
boneka yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi, pipih yang memiliki dua tangan
yang dapat digerakkan dengan stik dan dimainkan oleh seorang dalang, Oleh
karenanya, di dalam cerita wayang itulah terkandung nilai moral dan akhlak,
perihal keimanan sampai pada thariqah (jalan) menuju ketaqwaan kepada Allah.
c. Pesantren
Di mana pesantren ini
berfungsi sebagai sarana mengamalkan dan mengabdikan ilmunya kepada masyarakat,
dari pesantren yang telah didirikan lahirlah para Da’I yang memiliki kemampuan
tinggi yang tinggi dalam memperjuangjan dakwah selanjutnya.
d. Kitab
Kitab yang berbentuk puisi maupn prosa, kitab inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
e. Gamelan
Alat musik yang di gunakan untuk mengiringi tembang/lagu – lagu Jawa yang
bernuansa islam.
D.
Eksistensi metode dakwah Walisongo
di masa kini
Beberapa
metode dan media yang digunakan Walisongo dalam berdakwah saat ini tidak
semuanya utuh dijadikan metode dan media dakwah pada masa kini. Akan tetapi,
ada beberapa media dan metode yang lebih dikembangkan lagi guna meneruskan misi
dakwah Islam. Untuk lebih jelasnya kami uraikan sebagai berikut :
1. Metode
a. Ceramah
Dakwah secara
umum tidak lepas dari model ceramah , meskipun ada banyak dakwah yang tidak
menggunakannya. Oleh karena itu, sampai saat ini model ceramah masih tetap digunakan
dalam rangka dakwah islam.
b. Tanya
jawab dan diskusi
Sampai saat ini
bukan hanya dalam ranah dakwah saja metode tanya jawab dan diskusi digunakan,
bahkan dalam dunia pendidikan-pun lebih di dominasi oleh kedua model ini.
Karena hal ini dinilai sangat efektif untuk dapat mengetahui kekurangan yang
dimiliki orang lain dan akan semakin mudah menanamkan nilai-nilai pada diri
seseorang melelalui kekurangannya.
c. Konseling
Dalam dunia
dakwah sepertinya jarang ditemui bimbingan-bimbingan konseling yang benar-benar
melayani masyarakat (urusan agama). Misalnya, balai desa saja hanya digunakan
untuk kebutuhan administrasi kenegaraan bukan intus keagamaan.
d. Keteladanan
Yang seharusnya
dimiliki oleh seorang da’i adalah suri tauladn yang baik, karena sudah menjadi konsep
di masyarakat bahwa mereka akan benar-benar mengikuti ajakan orang-orang yang
berjiwa mulia lahir dan batin agar bisa di jadikan panutan.
e. Pendidikan
Melalui
pendidikan kita dapat mengetahui sejarah, nilai-nilai keimanan, dan hukum-hukum
syari’at yang mengatur pola hidup kita. Oleh karena itu di setiap lembaga
pendidikan baik formal, informal maupun non formal hendaknya terdapat misi
dakwah di dalamnya.
f. Bitsah
dan ekspansi
Sudah tidak
terlihat lagi ada utusan yang dikirim ke daerah lain untuk melakukan misi
dakwah islam karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan zaman
mempermudah kita untuk melakukan dakwah tanpa batasan ruang dan waktu.
g. Kesenian
Indonesia saat
ini memang sangat ragam dengan budaya
dan kesenian terutama musik. Sayangnya, hanya sebatas hiburan saja bukan dalam
rangka dakwah. Beberapa tahun lalu, ada sejumlah orang yang melakukan dakwah
melalui kesenian yakni musik yang mengatas-namakan kelompoknya dengan dalih
“nada dan dakwah”. Melalui musik mereka menanamkan nilai-nilai islam yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Ironisnya sampai sekarang sudah tidak ada lagi yang memanfaatkan
kesenian seperti musik untuk jalur dakwah bahkan rata-rata bertujuan bisnis dan
yang hampir mendekati dakwah yaitu lagu-lagu yang tergolong “album religi”.
h. Kelembagaan
pusatt/ lembaga dakwah
Kelembagaan
pusatt/ lembaga dakwah yang terkenal dan masih eksis samapai saat ini yaitu
masjid/musholah dan pondok pesantren. Kedua lembaga ini masih ada di setiap
daerah yang masih kental dengan budaya islam di indonesia. Karakteristik
pesantren masa kini dibandingkan puluhan tahun lalu sebenarnya hampir sama,
hanya saja mungkin terdapat penambahan karakteristik sesuai perkembangan zaman.
Contohnya di awal kemunculan, dalam pesantren belum terdapat lab komputer
dengan segala atribut pelengkapnya
menjadi hal yang tidak dapat terpisahkan, sekalipun lokasi pesantren
yang jauh dari perkotaan.
i. Silaturrahim
Yang terlihat
dimasyarakat, masih ada sejumlah orang yang melakukan metode ini dalam rangka
dakwah islam atau dikenal dengan jama’ah tabligh. Sayangnya bukan mendapat
respon positif dan justru malah menjadi bahan gunjingan denagn hadirnya mereka
di daerahnya. Sebenarnya kalau kita koreksi lagi, merekalah yang satu-satunya
yang masih melanjutkan dakwah islam dengan cara silaturrahim. Tetapi mengapa
justru kurang di terima oleh kebanyakn orang? Mungkin mereka mengira bahwa
mereka yang datang adalah teroris atau aliran sesat.
j. Propaganda
Setiap har jum’at setiap umat islam khusunya
laki-laki memiliki kewajiban ibadah shalat jum’at di masjid. Pelaksanaan shalat jum’at diwalai dengan
khutbah oleh seorang imam lalu melaksanakan shalat jum’at 2 rakaat. Hal ini
menunjukkan bahwa metode ini masih digunakan untuk dakwah islam yakni dengan
adanya khutbah yang isinya adalah dakwah.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
WaliSongo adalah Sembilan orang Wali mereka
adalah:
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria serta, Sunan Gunung Jati.
Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria serta, Sunan Gunung Jati.
Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Peran Walisongo
dalam berbagai bidang, yaitu :
1.
Bidang Pendidikan
2.
Bidang Politil
3.
Bidang Dakwah
Unsur–unsure dakwah WaliSongo
meliputi :
1. Da’I (Al-ulama wa Al-umara)
2. Mad’u (Mad’u Ijabah dan Ummah)
3. Materi(Akidah, Syariah dan Muamalah)
4. Metode(Ceramah, Tanya Jawab, Konseling, Keteladanan, Pendidikan, Bitsah, Ekspansi, Kesenian, Silaturahmi, kelembagaan, Karya Tulis, Drama, Propaganda, dan Diskusi).
5. Media(Masjid, Wayang, Pesantren, Kitab, Gamelan).
1. Da’I (Al-ulama wa Al-umara)
2. Mad’u (Mad’u Ijabah dan Ummah)
3. Materi(Akidah, Syariah dan Muamalah)
4. Metode(Ceramah, Tanya Jawab, Konseling, Keteladanan, Pendidikan, Bitsah, Ekspansi, Kesenian, Silaturahmi, kelembagaan, Karya Tulis, Drama, Propaganda, dan Diskusi).
5. Media(Masjid, Wayang, Pesantren, Kitab, Gamelan).
Eksistensi metode dakwah Walisongo
pada masa kini, yakni :melalui metode ceramah, tanya jawab dan diskusi,
konseling, keteladanan, bitsah dan ekspansi, kesenian, kelembagaan
pusat/lembaga dakwah, silaturrahim dan propaganda.
B. Saran
Dengan menyelesaikan makalah ini penulis
mengharapkan para pembaca bisa paham dan dapat mengetahui apa yang kami
sampaikan mengenai islam pada zaman walisongo dan dengan terselesaikannya
makalah ini saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Saifullah Mohd Sawi, Sejarah dan
Tamadun Islam di Asia Tenggara, Malaysia: Karisma, 2009.
Sejarah Pendidikan Islam, Cet.VII,
Jakarta : PT Bumi Aksara, 2004.
Wahyu Ilahi & Harjani Hefni,
Pengantar Sejarah Dakwah, Cet I, Jakarta: Kencana, 2007.
www.google.com, WaliSongo Diakses
pada tanggal 03 April 2011.